![]() |
Ilustrasi Soffi |
Categori: Jilbab, Karyawan, Pemerkosaan
Para tokoh:
- Soffi : Karyawan Biro Konsultasi [27 Tahunn]
- Tan : Pimpinan Biro Konsultasi [40 Tahun]
- Tatang : Cleanning Service
Chapter 01
Perkenalkan namaku Soffi. Aku adalah seorang wanita berusia 27 tahun
yang berstatus janda beranak satu. Dalam keseharianku, aku selalu
mengenakan jilbab. Walaupun jilbab yang aku kenakan bukan tergolong
jilbab akhwat, akan tetapi, dalam berpakaian aku sudah cukup sopan.
Jilbabku menjulur menutupi setengah dadaku. Aku selalu mengenakan baju
kurung longgar dengan bawahan rok semata kaki. Kedua kakiku senantiasa
terbalut oleh kaus kaki.
Aku telah menjanda sejak 3 tahun yang lalu, akibat konflik yang tidak
terselesaikan dengan mantan suamiku. Setelah usia pernikahan kami
menginjak 1 tahun, mantan suamiku mulai menunjukkan watak aslinya. Ia
mulai suka bermain tangan ketika marah. Begitu pula, ia tidak pernah
memberiku nafkah, karena dia seorang pengangguran.
Secara umum, ia bukan laki-laki yang bertanggung jawab. Pada akhirnya,
ia pun menceraikanku, setelah berselingkuh dengan wanita lain. Pada saat
itu aku sedang mengandung anak hasil perkawinanku dengannya. Kekalutan
yang kualami akibat perceraian itu membuatku mengalami depresi selama
beberapa bulan, hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku harus bangkit.
Perlahan-lahan akupun mulai bangkit, dan melupakan perceraian tragis
yang menimpa diriku. Aku ingat, bahwa aku harus menghidupi anakku.
Akupun pun bekerja pada sebuah biro konsultasi psikologi, mengingat aku
adalah sarjana psikologi. Bisa dikatakan, penghasilanku hanya pas-pasan
untuk menghidupi diriku dan anakku. Pada saat ini, anakku yang berusia 4
tahun kutitipkan pada neneknya di kota Yogyakarta
Sedangkan aku sendiri bekerja di kota Semarang, sebuah kota di Jawa
Tengah. Di kota tersebut aku tinggal di kamar kost sederhana. Setiap
akhir pekan aku mengunjungi anakku di rumah neneknya. Banyak pria yang
mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang cantik dan keibuan.
Dengan balutan jilbab yang selalu ku kenakan, aku menjadi nampak anggun
di mata para pria. Di samping itu, tak ada tanda-tanda bahwa aku adalah
seorang ibu beranak satu. Banyak yang mengagnggap aku masih gadis.
Tinggi badanku adalah 165 cm.
Ukuran payudaraku tidaklah besar, hanya 32B, akan tetapi, pantatku
bulat, padat dan membusung. Walaupun sudah beranak satu, aku memiliki perut
yang datar. Hal ini tercapai karena aku memang rajin berolah raga. Tak
heran, meskipun statusku janda beranak satu, masih banyak pria yang
mengharap cinta dariku. Akan tetapi, pada saat itu, aku belum berfikir
untuk menjalin hubungan yang serius dengan seorang priapun.
Hal ini disebabkan karena masih ada sisa-sisa trauma akibat perceraian
yang menyakitkan tersebut. Aku memiliki pandangan bahwa semua pria
adalah pendusta. Untuk apa aku menikah lagi kalau hanya untuk bercerai
lagi.
Sudahlah… aku sudah merasa hidup bahagia sebagai single parent. Tak
dapat kupungkiri bahwa aku merindukan pelukan pria. Tentu saja, karena
aku pernah merasakan manisnya seks, maka akupun seringkali
merindukannya. Hingga saat ini, aku masih kuat untuk menahan hasrat itu,
sehingga aku tidak terjerumus dalam seks bebas.
Di samping dalam rangka menjaga norma dan keyakinan yang aku anut, aku
juga harus menjaga imejku sebagai seorang wanita berjilbab yang selalu
berpakaian rapih dan sopan. Sejujurnya, aku seringkali bermasturbasi
untuk mengurangi hasrat seksku tersebut.
Herannya, semakin sering ku bermasturbasi, keinginanku untuk disetubuhi
oleh pria justru semakin menggebu-gebu. Masturbasi hanya mengurangi
hasratku untuk sementara, hanya pemuasan kebutuhan biologis semata,
namun kepuasan psikologis tidaklah aku dapatkan.
Adapun alat yang sering ku pakai untuk bermasturbasi adalah buah
mentimun. Uhhh… sungguh beruntungnya buah mentimun itu. Sementara para
pria yang mengharap cinta padaku saja belum ada yang berhasil menikmati
jepitan lubang di pangkal pahaku, tapi buah mentimun silih berganti
telah menyodok berkali-kali. Terkadang diam-diam aku melakukan
masturbasi sambil menonton film porno di komputerku ketika di kost
sendirian.
Dengan status jandaku, tentu saja ada beberapa pria yang menganggap
diriku adalah perempuan gampangan, yang butuh dibelai. Dengan demikian,
ada beberapa pria yang sering melakukan perilaku yang menjurus pada
pelecehan seks, dari verbal hingga pada sentuhan fisik.
Salah satunya adalah bosku, seorang Cina, yang sekaligus pemilik dari
biro konsultasi tempatku bekerja. Dengan pura-pura tidak sengaja, ia
terkadang meremas pantatku atau tetekku. Aku sebenarnya risih dengan hal
itu, dan tidak krasan untuk bekerja di situ. Ia seakan tidak peduli
bahwa aku adalah seorang wanita berjilbab yang selalu sopan dalam
berpakaian dan berperilaku.
Ia bahkan pernah menempelkan penisnya di belahan pantatku ketika aku
sedang membungkuk, karena membetulkan mesin printer di kantor. Aku
terkejut, karena di sela-sela pantatku terasa ada batang keras yang
menekan. Aku pun lalu segera menghindar.
Aku tidak bisa marah padanya, karena aku masih berharap untuk bisa
bekerja di biro miliknya tersebut. Aku hanya menampilkan ekspresi muka
tidak suka, sambil pipiku memerah karena malu. Ia hanya tersenyum mesum
sambil pergi berlalu. Ia nampak paham sekali bahwa aku memang sedang
butuh untuk terus bekerja di bironya.
Sungguh aku sangat benci dan jijik dengan perilaku bosku tersebut. Bosku
tersebut seorang pria Cina berusia 40 tahunan. Ia telah berkeluarga,
dan keluarganya tinggal di luar Jawa. Namanya Pak Tan. Ia memiliki
tinggi 160 cm, dengan badan yang agak gemuk perut yang buncit. Ia nampak
gempal.
Pada suatu hari, aku menerima kabar dari ibuku yang tinggal di kota
Yogyakarta, bahwa anakku sakit keras, hingga harus opname. Bahkan dokter
menyatakan bahwa anakku harus dioperasi secapatnya, kalau tidak, bisa
fatal. Untuk biaya operasi tersebut butuh uang sebanyak lima juta rupah.
Orang tuaku menyatakan bahwa mereka telah kehabisan dana untuk biaya
pengobatan anakku. Sementara, aku sendiri sudah kehabisan uang karena
kini sudah tanggal tua. Uang hanya cukup untuk menyambung hidup beberapa
hari. Aku pun bingung, harus mendapatkan uang darimana lagi. Masih
banyak hutangku pada kawan-kawanku, sehingga aku segan untuk berhutang
lagi pada mereka.
Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah mengeluh pada Pak Tan. Tapi
aku merasa ngeri, karena itu berarti memberinya kesempatan untuk
melecehkanku secara seksual. Aku pun menjadi ragu. Akan tetapi, karena
aku sudah sangat panik, akhirnya aku beranikan diri untuk mengungkapkan
hal itu pada Pak Tan.
Dengan perasaan tidak karuan, aku memberanikan diri untuk menuju ruang
Pak Tan. Saat itu, aku mengenakan jilbab warna pink sepanjang lengan,
dengan baju kurung yang sewarna, serta rok panjang hitam dari bahan kain
yang lemas. Dengan demikian, celana dalamku agak tercetak di permukaan
luar rokku.
Tok… tok.. tok.. tok… suara ketukanku di kamar kerja Pak Tan.
“Masuk” aku dengar suara pak Tan berseru dari dalam ruangan.
Aku pun membuka pintu. Pak Tan yang sedang duduk di belakang meja
kerjanya menatapku dengan tatapan mesumnya, yang seolah menelanjangi
tubuhku.
“Silahkan duduk”, katanya mempersilahkanku untuk duduk.
“Ada apa cah ayu?” dia bertanya padaku dengan nada menggoda.
“Mmmaaaff Pak, anak saya sedang sakitt kerass…”
Keringat dinginku mulai mengucur….
“Terus???” Pak Tan bertanya dengan nada sedikit ketus.
“Mmaksud saya, saya mau pinjam uang sama bapak. Untuk pengobatan anak saya. Saya sudah tidak ada uang.”
Ketika aku berkata seperti itu, pak Tan hanya mengangguk-amgguk dengan tatapan melecehkan.
“Sofiii, dengan berat hati saya katakan ke kamu, kalo saya tidak ada uang yang bisa saya pinjamkan ke kamu…?”
“Tolonglah saya pak, anak saya sakit.. berikan saya lima juta rupiah saja… nanti bisa dipotong gaji saya” kataku menghiba.
Air mataku mulai mengalir dari sudut-sudut mataku.
“Kamu tau kan, biro ini sedang kekurangan modal”, kata pak Tan dengan datar dan tenang.
“Jumlah klien kita semakin sedikit, makanya pemasukan ke biro juga sedikit..”
“Ya sudahlah, aku bisa usahakan uang itu” kata pak Tan.
Kemudian ia membuka laci mejanya dan mengeluarkan beberapa gepok uang
50ribu rupiahan. Ia pun memberikanya padaku. Setelah dihitung, ia telah
memberikan uang padaku sebanyak 6juta rupiah, lebih banyak dari
harapanku.
Pak Tan berkata, Uang itu boleh kamu pinjam dulu. Kamu nggak usah coba mikirin ntar gimana cara supaya mengembalikannya.
“Udah, cepet, kamu bawa pulang… kamu tunggu anak kamu sampe operasinya selesai… kamu boleh libur…”
Dengan perasaan senang dan rasa terima kasih yang tidak terkira, aku pun berpamitan dengan pak Tan dengan menyalami tangannya..
Aku pun bersyukur, operasi anakku berjalan dengan lancar. Setelah itu,
aku kembali bekerja di kantor Pak Tan. Semenjak itu, Pak Tan semakin
menjadi-jadi dalam melecehkanku secara seksual. Karena hutang budiku
padanya, aku pun tak bisa berbuat apapun selain pasrah dengan perlakuan
Pak Tan.
Setiap kali berpapasan denganku, ia tak akan membiarkan pantatku lolos
dari jamahannya. Seringkali, ia mengejutkanku dari belakang dengan cara
meremas pantatku. Aku hanya bisa menjerit kecil. Semakin lama iapun
semakin berani untuk menjamah tubuhku yang lain. Payudaraku dan pangkal
pahaku pernah diremasnya.
Yang aku heran, dia tetap paling suka meremas pantatku, walaupun ia
sesungguhnya dapat dengan bebas untuk menjamahi payudara dan pangkal
pahaku. Ketika aku sedang berdiri di dekatnya, ia mengajakku ngobrol
sambil jarinya menelusuri belahan pantatnya.
Dengan perasaan malu aku ingin menghindari setiap perlakuannya, namun ku
tak berdaya. Sungguh, aku merasa menjadi seorang perempuan murahan yang
bisa dinikmati oleh pria Cina itu demi sejumlah uang. Sungguh kontras
dengan penampilanku yang selalu berjilbab sopan ini.
Suatu ketika, seorang pesuruh kantor bernama Pak Tatang memberitahuku bahwa pak Tan memanggilku untuk datang ke ruangannya.
“Mbak, Pak Tan manggil mbak ke ruangnya”
“Huh… ada apa lagi nih??” tanyaku dalam hati. Pelecehan apa lagi yang kan aku terima? gumamku.
“Mhhh…. iya pak… Nanti saya ke sana…
“Cepet ya mbak, Pak Tan minta mbak datang cepet….” kata pak Tatang sambil berlalu.
“Iya… iya Pak Tatang” kataku sambil tersenyum pada Pak Tatang..
Hari itu aku mengenakan jilbab warna krem yan menutupi dua bukit mungilku, dengan baju kurung dan rok panjang. Dengan gontai dan perasaan yang tidak tenang akupun datang ke ruang Pak Tan.
Tok… tok… tok ku ketuk pintu ruang Pak Tan.
“Masuk” terdengar teriakan Pak Tan dari dalam ruangan
Aku pun masuk, dan Pak Tan mempersilahkanku duduk. Dengan senyum jahat
tersungging di bibrnya, ia menatapku dengan pandangan nafsu. Aku hanya
menunduk dengan muka yang malu bercampur dengan rasa cemas.
“Mhhhhh, begini Soffi…., saya cuma mau informasikan ke kamu, kalau
hutang kamu ke kantor sudah jatuh tempo. Kantor butuh uang itu segera.
Kamu bilang mau angsur hutang kamu, tapi sampai sekarang, sudah tiga
bulan, kamu sama sekali belum angsur. Saya udah kasih kamu keringanan
looo….” Pak Tan berkata dengan nada serius.
Jantungku berdetak keras, memompa darahku cepat sekali. Wah, celaka…
pikirku.. Aku jelas tidak mampu untuk membayar hutangku. Bahkan untuk
mengangsur pun aku tidak mampu. Kini hutang itu telah ditagih. Ohhhh…
betapa malang nasibku, jeritku di hati.
“Mhhhh…. mmaaf pak, saya belum mampu membayarnya…” jawabku terbata-bata.
“Kebutuhan saya banyak sekali, dan uang gaji saya saja tidak cukup”
Tak terasa, air mataku mulai meleleh.
“Iya, saya tau… tapi masalahnya, kantor ini juga butuh biaya. Kan sudah
aku bilang, kalau biro ini lagi seret. Klien kita semakin sedikit?”
suara Pak Tan mulai meninggi.
Air mataku pun semakin deras mengalir. Tak sadar aku mulai sesenggukan.
Dengan ujung jilbabku aku usap air mataku. Pak Tan masih nampak cuek,
sambil sesekali melirikku. Sorot matanya menunjukkan kelicikan.
“Hmmmmm… apapun kamu harus membayar hutang kamu…. Atau kita selesaikan saja secara hukum??” ancam Pak Tan.
Aku semakin panik dengan ancaman itu…
“Ssaya mohon jangan pak. Saya pasti akan bayar. Saya masih punya anak pak….” kataku tersedu-sedu.
“Trus, kamu mau bayar pake apa? Kamu bilang nggak punya uang?”
“Beri saya waktu tenggat satu minggu, saya bisa usahakan” jawabku putus asa.
Satu minggu pun aku tidak yakin akan mendapatkan uang sejumlah itu.
“Wah… wah… aku meragukan kamu bakalan sanggup membayar. Paling hanya
menunda waktu. Gak ada gunanya. Saya nggak akan kasi keringanan lagi”
“Sssayaaa mohon pakkk” aku berusaha menahan tangisku agar tak semakin keras.
“Mhhhhh… baik… baik…. Aku bisa kasih kamu solusi. Supaya kamu bisa lunasin utang kamu”
Aku agak lega mendengar ucapan dari Pak Tan. Aku memandanginya dengan pandangan bertanya, solusi macam apa yang akan diberikan oleh pimpinan aku ini yang kemudian akan diberikannya kepadaku. (Bersambung..)
Sumber:
myceritasex.com
0 komentar:
Posting Komentar